Akhir-akhir ini dunia pendidikan di Indonesia dihiasi dengan fenomena dikembalikannya lagi kurikulum nasional dari kurikulum 2013 ke kurikulum 2006 (KTSP).
Tentu ada pro dan kontra terhadap kebijakan terbaru dari Mendikbud tersebut.
Sebagai seorang guru saya memang merasakan banyak kekurangan dalam "pemaksaan" pelaksanaan kurikulum 2013 ini mulai dari buku yang lama datangnya, kualitas buku yang buruk, format raport yang masih belum dipahami dan lainnya.
Memang kurikulum harus senatiasa mengikuti alur zaman dan tidak statis, akan tetapi manajemen eksekusi di lapangan yang harus ditertibkan.
Saya baru memahami apa itu KTSP pada tahun 2011 ketika Bimtek KTSP di MAN IC Serpong namun baru dua tahun sudah diganti lagi kurikulumnya.
Pemerintah Indonesia memang harus melakukan pembenahan luar biasa dalam pengelolaan kurikulum nasional, jika kondisi seperti ini masih terjadi maka kurikulum-kurikulum luar seperi Cambridge, IGCSE dan lainnya akan terus mengekspansi Indonesia padahal sebetulnya kurikulum kita sudah bagus namun pelaksanaannya saja yang masih tidak sepenuhnya dipahami oleh guru, siswa dan orang tua.
Bulan lalu saya mengikuti seminar dan diskusi di UNY Yogyakarta dengan tema Peran Geografi Dalam Menghadapi AFTA 2015. Dalam seminar tersebut bertindak sebagai pembicara adalah dosen UNY yang lupa lagi saya namanya.
Salah satu hal yang didiskusikan dalam seminar tersebut adalah mengenai evaluasi kurikulum 2013.
Singkat cerita, setelah diskusi panjang lebar diperoleh kesimpulan seperti ini bahwa kita sebagai pendidik jangan terlalu terbelenggu oleh aturan-aturan kurikulum yang diberlakukan pemerintah.
Guru adalah kurikulum itu sendiri, di kelas proses belajar ditentukan oleh kreativitas guru.
Tidak ada kurikulum pendidikan yang sempurna di dunia, bahkan di Amerika Serikat pun sering terjadi penembakan di kampus. Seorang pakar kurikulum terkenal yaitu John Dewey pernah berkata
"berikan aku kurikulum terburuk yang pernah ada, maka akan saya kembangkan dengan kreativitas agar menjadi sumber belajar yang menarik di kelas".
Jelas bahwa inti dari kurikulum adalah guru, seburuk apapun kurikulum namun di tangan guru yang kreatif dan berjiwa pendidik maka tidak akan menjadi persoalan.
"Curriculum is only the gun, but teacher is man behind the gun"
Jadi marilah kita sebagai guru untuk senantiasa menciptakan kreasi dan inovasi dalam kegiatan belajar bersama siswa di kelas.
Bolehlah merasa tidak puas terhadap kurikulum namun tetap menyuarakan suara dengan etika yang santun sesuai budaya Indonesia. Ada tugas yang lebih besar lagi dari sekedar mengutak-atik kurikulum yaitu mendidik siswa-siswi Indonesia. Kurikulum terbaik di dunia pun akan sia-sia di tangan guru yang tidak kreatif ketika mengajar.
Gambar: disini
Tentu ada pro dan kontra terhadap kebijakan terbaru dari Mendikbud tersebut.
Sebagai seorang guru saya memang merasakan banyak kekurangan dalam "pemaksaan" pelaksanaan kurikulum 2013 ini mulai dari buku yang lama datangnya, kualitas buku yang buruk, format raport yang masih belum dipahami dan lainnya.
Memang kurikulum harus senatiasa mengikuti alur zaman dan tidak statis, akan tetapi manajemen eksekusi di lapangan yang harus ditertibkan.
Saya baru memahami apa itu KTSP pada tahun 2011 ketika Bimtek KTSP di MAN IC Serpong namun baru dua tahun sudah diganti lagi kurikulumnya.
Pemerintah Indonesia memang harus melakukan pembenahan luar biasa dalam pengelolaan kurikulum nasional, jika kondisi seperti ini masih terjadi maka kurikulum-kurikulum luar seperi Cambridge, IGCSE dan lainnya akan terus mengekspansi Indonesia padahal sebetulnya kurikulum kita sudah bagus namun pelaksanaannya saja yang masih tidak sepenuhnya dipahami oleh guru, siswa dan orang tua.
Bulan lalu saya mengikuti seminar dan diskusi di UNY Yogyakarta dengan tema Peran Geografi Dalam Menghadapi AFTA 2015. Dalam seminar tersebut bertindak sebagai pembicara adalah dosen UNY yang lupa lagi saya namanya.
Salah satu hal yang didiskusikan dalam seminar tersebut adalah mengenai evaluasi kurikulum 2013.
Singkat cerita, setelah diskusi panjang lebar diperoleh kesimpulan seperti ini bahwa kita sebagai pendidik jangan terlalu terbelenggu oleh aturan-aturan kurikulum yang diberlakukan pemerintah.
Guru adalah kurikulum itu sendiri, di kelas proses belajar ditentukan oleh kreativitas guru.
Tidak ada kurikulum pendidikan yang sempurna di dunia, bahkan di Amerika Serikat pun sering terjadi penembakan di kampus. Seorang pakar kurikulum terkenal yaitu John Dewey pernah berkata
"berikan aku kurikulum terburuk yang pernah ada, maka akan saya kembangkan dengan kreativitas agar menjadi sumber belajar yang menarik di kelas".
Jelas bahwa inti dari kurikulum adalah guru, seburuk apapun kurikulum namun di tangan guru yang kreatif dan berjiwa pendidik maka tidak akan menjadi persoalan.
"Curriculum is only the gun, but teacher is man behind the gun"
Jadi marilah kita sebagai guru untuk senantiasa menciptakan kreasi dan inovasi dalam kegiatan belajar bersama siswa di kelas.
Bolehlah merasa tidak puas terhadap kurikulum namun tetap menyuarakan suara dengan etika yang santun sesuai budaya Indonesia. Ada tugas yang lebih besar lagi dari sekedar mengutak-atik kurikulum yaitu mendidik siswa-siswi Indonesia. Kurikulum terbaik di dunia pun akan sia-sia di tangan guru yang tidak kreatif ketika mengajar.
Gambar: disini