Assalamualaikum wr.wb, sahabat blogger yang budiman dimanapun berada, salam sejahtera bagi kita semua. Kali ini saya ingin berbagai cerita tentang hal keislaman sesuai pengalaman sendiri.
Cerita ini tidak bermaksud untuk mendiskriminasi agama namun hanya ingin memahami sebuah fenomena yang saya alami sendiri.
Saya berprofesi sebagai guru selama lebih dari sepuluh tahun dan pernah mengajar di sekolah islam dan pernah mengajar pula di sekolah umum tapi mayoritas non muslim lebih banyak.
Untuk urusan ibadah, semua agama ada jadwal ibadah sesuai agama masing-masing, jadi tidak ada diskriminasi.
Fenomena sosial keagamaan yang saya temui sebagai guru adalah tentang siswa didik saya yang murtad atau pindah agama dari Islam ke agama lain. Saya tidak mempermasalahkan tentang keyakinan karena memilih keyakinan sudah diatur UUD 45.
Namun sebagai guru tentu saya punya kewajiban mencari tahu dan memberikan nasihat kepada siswa yang beragama Islam terkait murtad ini.
Fenomena murtad ini menjadi perhatian saya sebagai guru sosial. Ada setidaknya 3 siswa yang saya jumpai sangat ingin pindah agama dari Islam alias murtad.
Kepala sekolah pun sudah memberikan arahan kepada guru untuk mencari tahu sebab muasalnya dan diharapkan tidak terjadi takutnya hanya emosi belaka, maklum anak ingusan bicara pindah agama kan ada hal ganjil menurut saya.
Hal paling utama yang saya temui setelah berkomunikasi dengan siswa adalah mereka pindah agama karena faktor keluarga. Ya, semua berawal dari keluarga teman-teman. Siswa pertama saya keluarganya berantakan, ditinggal bapaknya entah kemana lalu ibunya harus bekerja sendiri mencari nafkah. Sang anak lalu stres karena faktor ekonomi dan akhirnya menjadi celah mendapat bantuan dari pihak agama lain. Lalu terbersitlah niat pindah agama. Di sekolah pun anak ini jarang sekali sholat dan susah diajak ibadah. Ini kasus sosial pertama.
Siswa kedua saya sudah murtad dari Islam karena faktor keluarga juga. Dulu bapak dan ibunya nikah beda agama, lalu bercerai. Sang anak kemudian stress, ia ditinggal bapaknya. Ia berujar kepada saya "ngapain beragama Islam, di keluarga juga gak ada panutan mendingan ikut ibu saya aja". Akhirnya jadilah ia murtad. Oh...begitu ya, ya sudahlah.
Siswa ketiga ini juga sama, ibu bapaknya nikah beda agama. Ibunya lalu menjadi mualaf ikut bapaknya. Namun bapaknya dipanggil Allah dan anaknya jadi kehilangan sosok ayah. Ia kemudian mencari pelampiasan, banyak nongkrong dengan teman di luar. Akhirnya ia merasa di Islam ada beban harus sholat dll. Jadi ia ingin pindah agama.
Ibunya padahal masih Islam, tapi saya tanya anaknya ternyata jawabannya "Ibu saya dulu juga non muslim, lalu kenapa sekarang saya gak boleh non muslim". Jawaban yang sangat emosional menurut saya.
Ia tidak pernah masuk saat mapel agama Islam dan wali kelas pun sudah berkunjung ke rumah untuk ngobrol. Ternyata hubungan anak dengan ibunya pun tidak harmonis. Jadilah muncul keinginan murtad.
Melihat fenomena saya sudah saya tulis dan alami sendiri, saya berkesimpulan bahwa keluarga merupakan fondasi utama dalam membangun sebuah peradaban dan generasi anak yang sholeh dan tangguh. Keluarga yang berantakan pasti akan berdampak pada psikologis anak.
Jadi guru di sekolah sehebat apapun tidak ada gunanya jika orang tua tidak bisa menjadi guru yang terbaik di keluargnya. Ingat madrasah seorang anak pertama adalah Ibunya.
Jadi tugas umat Islam sekarang terutama pemuka agama, penceramah, dai adalah menguatkan dan menanamkan akidah keislaman yang kuat kepada masyarakat akar rumput.
Ustad jangan berceramah terlalu luas tapi lupa hal kecil yang malahan ini menjadi pintu masuk murtad. Kita harus fokus memperkuat keluarga muslim yang tangguh.
Kegoyahan dan melemahnya ditambah kemiskinan adalah pintu pemurtadan yang utama. Islam adalah agama rahmatan lilalamin dan sungguh sebuah anugerah terlahir dalam keluarga Islam. Keluarga Islam harus memiliki visi dan misi dalam mengarungi hidup agar anak-anak tidak menjadi korban dan stress terhadap perilaku orang tua.
Fenomena inilah yang saya temui di lapangan, maka sebelum meminta anak menjadi sholeh dan sholehah maka kita sebagai orang tua harus menunjukkan kesholehan terlebih dahulu di mata mereka. Kunci peradaban Islam yang kuat adalah seperti itu.
Kemiskinan juga pintu pemurtadan dan ini banyak saya temui juga di lapangan. Kita sebagai umat muslim harus bersatu dan bahu membahu membantu meningkatkan kesejahteraan umat, tetangga. Jangan sampai kita kaya sendiri sementara tetangga kita kelaparan misalnya.
Itulah sedikit cerita tentang fenomena murtad di kalangan siswa karena faktor orang tua atau keluarga yang berantakan. Semoga kita senantiasa menjadi teladan orang tua yang sholeh dan sholehah agar anak-anak kita terhindar fenomena murtad.
Cerita ini tidak bermaksud untuk mendiskriminasi agama namun hanya ingin memahami sebuah fenomena yang saya alami sendiri.
Saya berprofesi sebagai guru selama lebih dari sepuluh tahun dan pernah mengajar di sekolah islam dan pernah mengajar pula di sekolah umum tapi mayoritas non muslim lebih banyak.
Untuk urusan ibadah, semua agama ada jadwal ibadah sesuai agama masing-masing, jadi tidak ada diskriminasi.
Fenomena sosial keagamaan yang saya temui sebagai guru adalah tentang siswa didik saya yang murtad atau pindah agama dari Islam ke agama lain. Saya tidak mempermasalahkan tentang keyakinan karena memilih keyakinan sudah diatur UUD 45.
Namun sebagai guru tentu saya punya kewajiban mencari tahu dan memberikan nasihat kepada siswa yang beragama Islam terkait murtad ini.
Fenomena murtad ini menjadi perhatian saya sebagai guru sosial. Ada setidaknya 3 siswa yang saya jumpai sangat ingin pindah agama dari Islam alias murtad.
Kepala sekolah pun sudah memberikan arahan kepada guru untuk mencari tahu sebab muasalnya dan diharapkan tidak terjadi takutnya hanya emosi belaka, maklum anak ingusan bicara pindah agama kan ada hal ganjil menurut saya.
Hal paling utama yang saya temui setelah berkomunikasi dengan siswa adalah mereka pindah agama karena faktor keluarga. Ya, semua berawal dari keluarga teman-teman. Siswa pertama saya keluarganya berantakan, ditinggal bapaknya entah kemana lalu ibunya harus bekerja sendiri mencari nafkah. Sang anak lalu stres karena faktor ekonomi dan akhirnya menjadi celah mendapat bantuan dari pihak agama lain. Lalu terbersitlah niat pindah agama. Di sekolah pun anak ini jarang sekali sholat dan susah diajak ibadah. Ini kasus sosial pertama.
Siswa kedua saya sudah murtad dari Islam karena faktor keluarga juga. Dulu bapak dan ibunya nikah beda agama, lalu bercerai. Sang anak kemudian stress, ia ditinggal bapaknya. Ia berujar kepada saya "ngapain beragama Islam, di keluarga juga gak ada panutan mendingan ikut ibu saya aja". Akhirnya jadilah ia murtad. Oh...begitu ya, ya sudahlah.
Siswa ketiga ini juga sama, ibu bapaknya nikah beda agama. Ibunya lalu menjadi mualaf ikut bapaknya. Namun bapaknya dipanggil Allah dan anaknya jadi kehilangan sosok ayah. Ia kemudian mencari pelampiasan, banyak nongkrong dengan teman di luar. Akhirnya ia merasa di Islam ada beban harus sholat dll. Jadi ia ingin pindah agama.
Ibunya padahal masih Islam, tapi saya tanya anaknya ternyata jawabannya "Ibu saya dulu juga non muslim, lalu kenapa sekarang saya gak boleh non muslim". Jawaban yang sangat emosional menurut saya.
Ia tidak pernah masuk saat mapel agama Islam dan wali kelas pun sudah berkunjung ke rumah untuk ngobrol. Ternyata hubungan anak dengan ibunya pun tidak harmonis. Jadilah muncul keinginan murtad.
Melihat fenomena saya sudah saya tulis dan alami sendiri, saya berkesimpulan bahwa keluarga merupakan fondasi utama dalam membangun sebuah peradaban dan generasi anak yang sholeh dan tangguh. Keluarga yang berantakan pasti akan berdampak pada psikologis anak.
Saya bangga sebagai seorang muslim |
Jadi tugas umat Islam sekarang terutama pemuka agama, penceramah, dai adalah menguatkan dan menanamkan akidah keislaman yang kuat kepada masyarakat akar rumput.
Ustad jangan berceramah terlalu luas tapi lupa hal kecil yang malahan ini menjadi pintu masuk murtad. Kita harus fokus memperkuat keluarga muslim yang tangguh.
Kegoyahan dan melemahnya ditambah kemiskinan adalah pintu pemurtadan yang utama. Islam adalah agama rahmatan lilalamin dan sungguh sebuah anugerah terlahir dalam keluarga Islam. Keluarga Islam harus memiliki visi dan misi dalam mengarungi hidup agar anak-anak tidak menjadi korban dan stress terhadap perilaku orang tua.
Fenomena inilah yang saya temui di lapangan, maka sebelum meminta anak menjadi sholeh dan sholehah maka kita sebagai orang tua harus menunjukkan kesholehan terlebih dahulu di mata mereka. Kunci peradaban Islam yang kuat adalah seperti itu.
Kemiskinan juga pintu pemurtadan dan ini banyak saya temui juga di lapangan. Kita sebagai umat muslim harus bersatu dan bahu membahu membantu meningkatkan kesejahteraan umat, tetangga. Jangan sampai kita kaya sendiri sementara tetangga kita kelaparan misalnya.
Itulah sedikit cerita tentang fenomena murtad di kalangan siswa karena faktor orang tua atau keluarga yang berantakan. Semoga kita senantiasa menjadi teladan orang tua yang sholeh dan sholehah agar anak-anak kita terhindar fenomena murtad.