Ketahanan Pangan: Sejarah Mula Pertanian Tradisional - Geograph88

Ketahanan Pangan: Sejarah Mula Pertanian Tradisional

Ketahanan Pangan: Sejarah Mula Pertanian Tradisional
Manusia tidak bisa hidup tanpa pangan yang memadai. Kebutuhan pangan adalah primer dan tidak bisa ditawar-tawar.

Untuk memahami produksi pangan pasti tidak lepas dari sistem produksi yang melingkupi kebudayaan petani. Petani adalah pahlawan pangan bagi kita sehingga wajib dihargai.

Wilayah perdesaan merupakan basis kebudayaan petani yang berkembang dalam kurun waktu yang panjang.

Pada umumnya perdesaan di Indonesia didominasi pertanian rakyat yang bersifat subsisten. Subsisten merupakan usaha yang hasilnya diorientasikan untuk sekedar memenuhi kebutuhan rumah tangganya saja.

Pertanian rakyat merupakan usaha pertanian keluarga yang menghasilkan bahan pangan utama yakni beras, palawija, serta hortikultura yang diusakan di sawah, ladang, atau pekarangan.

Konsep kebudayaan mensyaratkan adanya gagasan, perilaku, dan wujud fisik. Ciri tersebut juga melingkupi kebudayaan petani di masa lampau maupun saat ini.

Di masa lampau kebudayaan petani dilandasi pada ciri kebudayaan tradisional. Secara lebih rinci, Landis (1948) dalam Rahardjo (2008) menyatakan bahwa ciri-ciri kebudayaan tradisional adalah sebagai berikut.
Petani memanen hasil sawahnya
1.    Mengembangkan adaptasi yang kuat terhadap lingkungan (alam).
2.    Tingkat motivasi yang rendah sebagai akibat dari pola adaptasi yang pasif terhadap lingkungan.
3.    Sebagai akibat dari kedekatannya terhadap alam masyarakat desa mengembangkan kepribadiannya yang bersifat organik (memandang sesuatu sebagai satu kesatuan).
4.    Kuatnya pengaruh alam terlihat pada pola kebiasaan hidup yang lamban (inertia), sehingga masyarakat desa sering dinilai statis.
5.    Dominasi alam terhadap mereka juga mengakibatkan tebalnya kepercayaan terhadap takhayul.
6.    Sikap pasif dan adaptif juga tampak dalam aspek kebudayaan materiil mereka yang relatif bersahaja.
7.    Ketundukan yang besar terhadap alam mengakibatkan kesadaran yang rendah  terhadap waktu.
8.    Pengaruh alam yang kuat juga mengakibatkan mereka cenderung bersifat praktis.

Kebudayaan tradisional semacam itu eksistensinya sangat ditentukan oleh besar kecilnya pengaruh alam terhadap masyarakat desa.

Besar kecilnya pengaruh alam ditandai oleh sejauh mana ketergantungan mereka terhadap pertanian, tingkat kemajuan mereka terhadap teknologi, serta sistem produksi yang diterapkan. Bisa dilihat bahwa kebudayaan tradisional sangat dekat dengan kebudayaan pertanian.

Berdasarkan ciri kebudayaan tradisonal tersebut, kebudayaan petani di masa lampau di Indonesia juga bersinggungan dengan ciri-ciri tersebut.

Kebudayaan petani memiliki nilai-nilai luhur yang sesuai dengan situasi zamannya. Keluhuran kebudyaan petani tersebut menghasilkan ciri khas sistem pertanian tropis yang secara turun menurun telah berlangsung di wilayah Nusantara.

Kebudayaan petani di masa lampau melipui kerja keras dan ketekunan sepanjang masa, mensyukuri dan melestarikan anugerah alam yang diungkapkan lewat upacara adat, peka terhadap tanda-tanda alam, menghormati hukum alam, memperlakukan alam seolah seperti manusia saudara tuanya, membuat lumbung bibit dan pangan kurang lebih sampai setahun, percaya pada kemampuan diri, sedrehana dalam berfikir dan bertindak tetapi mendalam dalam beriman, gotong royong dan bertindak sosial pada yang kekurangan, berdaya tahan dalam segala kesulitan seperti gagal panen karena hama (Wahono, 2008).

Akan tetapi kebudayaan pertanian tradisional yang berakar pada pemenuhan kebutuhan pangan subsisten, tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan untuk seluruh penduduk yang terus bertambah. Persoalannya adalah keengganan petani untuk menaikkan produksi beras di atas kebutuhan subsisten (Wahono, 2003).

Hal ini terjadi karena petani tradisional dalam produksi pangan lebih didorong oleh motif mendapatkan status sosial daripada mencari keuntungan. Keadaan ini dikenal sebagai involusi atau kemungkretan pertanian. Gambar: disini
close